Sabtu, 8 Januari 2011

Pengertian bid'ah

Ketika membicarakan bid’ah maka kita harus mengerti bahwa ada definisi bid’ah dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa, bid’ah bermaksud membuat sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Jadi sangat umum definisinya. Sedangkan dari segi istilah ada beberapa definisi bid’ah.

Salah satu definisi bid’ah yang terbaik adalah seperti yang dikemukan oleh al-Imam Abu Ishaq al-Syatibi rahimahullah (790H) dalam kitab al-I’tishom. Beliau adalah seorang muhaddith, ahli fiqh dan usul fiqh terkenal dari Andalus yang bermazhab Malik.

Pertama. Membuat sesuatu yang baru dalam urusan agama. Dalam hal ini terbagi dua yaitu yang ada contohnya dalam syariat dan yang tidak ada contohnya dalam syariat. Yang dimaksud bid’ah dalam definisi ini adalah bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada contohnya dalam syariat. Dengan menggunakan definisi ini maka perbuatan yang baru dalam urusan agama seperti ilmu nahu, saraf, mufradat bahasa, Usul al-Fiqh, Usul al-Din, dan segala ilmu yang mendukung syariat, tidak dianggap bid’ah, karena dasar-dasarnya ada dalam syarak. Dengan menggunakan definisi ini pula, sesuatu yang baru dalam urusan dunia tidak dianggap bid’ah, seperti membuat barang-barang, kenderaan, dan sebagainya.

Kedua. Membuat sesuatu yang baru sehingga seolah-olah menyerupai syarak. Padahal ia bertentangan dengan syarak karena beberapa sebab:

* Meletakkan batasan-batasan yang tidak ditetapkan oleh syarak seperti seorang yang bernazar untuk puasa berdiri tanpa duduk, mengasingkan diri untuk beribadah, dan sebagainya.
* Melakukan dengan cara dan bentuk tertentu, seperti berzikir ramai-ramai, menyambut hari kelahiran Nabi SAW, dan sebagainya.
* Melakukan dengan ibadah tertentu dalam waktu tertentu, seperti berpuasa pada hari Nifsu Sya’ban dan bersolat pada malam harinya.

Ketiga. Membuat sesuatu yang baru dalam ibadah dengan alasan supaya lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Mungkin ada yang tidak setuju dengan definisi al-Syatibi. Mereka mengatakan toh ada ulama lain yang cara pembagian bid’ah berlainan dengan dengan cara al-Syatibi. Salah satunya adalah pembagian bid’ah oleh al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam rahimahulah (660H). Kita lihat beliau lebih awal dari al-Syatibi dalam membuat definisi bid’ah. Beliau dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam membagi bid’ah kepada lima kategori:

1. Bid’ah Wajibah (bid’ah wajib)
2. Bid’ah Muharramah (bid’ah yang diharamkan)
3. Bid’ah Mandubah (bid’ah yang disunnahkan)
4. Bid’ah Makruhah (bid’ah makruh)
5. Bid’ah Mubahah (bid’ah yang dibolehkan)

Mungkin ada yang bersorak kegirangan “Tuh kan apa aku bilang, kan ada bid’ah wajib. Kamu jangan suka membid’ahkan orang lah”. Tapi tunggu sebentar bro. Sebelum keburu senang kita harus mengetahu terlebih dahulu apa definisi bid’ah menurut beliau.

Ternyata definisi beliau tentang bid’ah sangatlah luas dan umum. Beliau berkata bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Ini sih termasuk perkara ibadah dan urusan dunia yang melibatkan syarak. Kalau masih tidak percaya coba kita dengar apa yang beliau maksudkan dengan bid’ah wajib. Menurut beliau contoh bid’ah wajib adalah belajarilmu nahu supaya bisa memahami kalam Allah. Kalau menurut al-Imam al-Syatibi, contoh itu tidak termasuk di dalam bid’ah dari segi syarak. Selanjutnya al-Imam al-Syatibi menolak pembagian al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam karena hakikat bid’ah adalah sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh syar’i baik dalam bentuk nas-nas maupun metode-metodenya. al-Imam al-Syatibi berkata tidak wajar dinamakan bid’ah perkara-perkara yang wajib atau sunat.

Kesimpulannya bid’ah yang dimaksudkan oleh al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam tidak jauh berbeda dengan al-Imam al-Syatibi. Cuma cara pembagian bid’ah kepada wajib, sunnah, dll, itulah yang tidak disetujui oleh al-Imam al-Syatibi. Bagaimana tidak? Ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan pembagian bid’ah oleh al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam untuk menyesatkan masyarakat.

Bagaimana pegangan al-Imam al-Nawawi rahimahullah (676H), seorang ulama besar mazhab al-Syafi’i? Beliau setuju dengan pembagian bid’ah al-Imam ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam. Tapi kalau diteliti karya-karya al-Imam al-Nawawi, beliau tidak pernah menganggap bid’ah hasanah seperti yang disangka oleh orang ramai pada masa kini. Contohnya:

* al-Imam al-Nawawi tidak pernah pernah menamakan perbuatan membaca al’Quran ketika mengiringi jenazah sebagai bid’ah hasanah.
* al-Imam al-Nawawi tidak menganggap penambahan waBarakatuh setelah salam sebagai bid’ah Musahabbah (yang disunatkan). Malah beliau menganggap itu bid’ah karena ketiadaan dalil yang shahih.
* al-Imam al-Nawawi menganggap menyediakan makanan oleh keluarga si mati untuk orang ramai adalah bid’ah yang tidak disukai. Beliau tidak memasukkannya ke dalam kategori bid’ah hasanah.

Terus bagaimana pendapat al-Imam al-Sayuti rahimahullah (911H)? Pendapat beliau bisa dibaca di kitabnya mengenai bid’ah yaitu al-Amr bi al-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida. Menurut beliau bid’ah hasanah adalah bid’ah yang tidak menyalahi kaidah-kaidah syarak sedikitpun. Contohnya seperti membuat mimbar mesjid, benteng pertahanan, sekolah, rumah musafir, dan sebagainya yang membawa kepada kebaikan tapi tidak ada pada zaman Islam. Memakai definisi al-Imam al- al-Syatibi apa yang disebutkan di atas tidak sepatutnya dimasukkan kedalam definisi bid’ah. Kalau masih belum percaya, al-Imam al-Sayuti menolak solat sunat Raghaib, malam Nisfu Sya’ban, melafaskan niat sebelum sholat. al-Imam al-Sayuti tidak menganggap itu sebagai bid’ah hasanah.

Kesimpulannya telah berlaku salah paham di kalangan masyarakat bahkan di kalangan penceramah dan agamawan terhadap istilah bid’ah pada saat ini. Apa yang dimaksudkan oleh tokoh-tokoh ulama diatas tidak sama maksudnya dengan yang dimaksudkan oleh maysarakat, penceramah, agamawan pada saat ini.

Diringkas dari buku:

Bid’ah Hasanah: Istilah Yang Disalah Pahami
Dr. Mohd. Asri Zainul Abidin

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Nota: Hanya ahli blog ini sahaja yang boleh mencatat ulasan.